Rabu, 27 Juni 2012



 MAKALAH PARASITOLOGI III

Kelas Myriapoda (Chilopoda dan Diplopoda)





Disusun oleh :


1.    Kasirinus Nai Liu            (10472)
2.    Rika Apriliani                 (10478)





AKADEMI ANALIS KESEHATAN MANGGALA YOGYAKARTA
2011 / 2012









PENDAHULUAN


A.    Pengertian tentang Myriapoda
Myriapoda (dalam bahasa yunani, myria = banyak, podos = kaki) merupakan hewan berkaki banyak. Hewan kaki seribu adalah salah satunya yang terkadang kita lihat di lingkungan sekitar kita. Myriapoda hidup di darat pada tempat lembap, misalnya di bawah daun,batu,atau tumpukan kayu. Bagian tubuh Myriapoda sulit dibedakan antara toraks dan abdomen. Tubuhnya memanjang seperti cacing. Myriapoda bersifat dioseus dan melakukan repsroduksi seksual secara internal. Myriapoda dibedakan menjadi dua kelas, yaitu Chilopoda dan Diplopoda. Myriapoda adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Arthropoda.
B.    Morfologi Myriapoda
Tubuh terdiri atas kepala (cephalo) dan perut (abdomen) tanpa dada (toraks), dan beruas-ruas, terdiri atas ± 10 hingga 200 segmen. Dibagian kepala terdapat satu pasang antena sebagai alat peraba dan sepasang mata tunggal (ocellus). Penambahan jumlah segmen terjadi pada tiap pergantian kulit. Alat gerak pada kelompok hewan Chilopoda adalah satu pasang kaki di tiap segmen perut kaki, sedangkan pada Diplopoda terdapat dua pasang kaki pada tiap segmen perut, kecuali segmen terakhirnya. Eksoskeleton terdiri dari kulit keras dari zat kitin yang berfungsi melindungi alat-alat dalam, tempat melekatnya otot dan memberi bentuk tubuh. Zat kitin tidak larut dalam air, alkohol, alkalis, asam maupun getah pencernaan hewan lain. Kulit kitin yang tipis terletak pada perbatasan antara dua segmen, yaitu di bawah kulit kitin yang tebal. Dengan adanya kulit kitin yang tipis inilah maka hewan ini dapat bergerak leluasa. Kulit kitin ini mengalami eksdisis.

C.    Klasifikasi Myriapoda

1.     Kelas Chilopoda

Kingdom                        : Animalia
Phylum               : Arthropoda
Class                 : Chilopoda
Ordo                  :Scutigeromorpha
Family                : Scutigeradae
Genus                : Scolopendra
Spesies              : Scolopendra gigantea
               

2.     Kelas Diplopoda

Kingdom                        : Animalia
Phylum               : Arthopoda
Class                 : Diplopoda
Ordo                  : Julida
Family                : Blaniulidae
Genus                : Julus
Spesies              : Julus sp. (Julus varius akan tetapi sekarang menjadi Pachyiulus varius (Brandt,1841))

D.    Siklus Hidup Myriapoda

Secara umum, kelas Myriapoda yaitu ordo Chilopoda dan Diplopoda memiliki tipe metamorfosis tidak sempurna. Umumnya diawali dengan telur berubah menjadi larva, kemudian mengalami molting (pergantian kulit) beberapa kali. Setelah molting maka jumlah segmen tubuh dan kaki akan bertambah dan akan menjadi dewasa.

E.    Peranan Dalam Dunia Kesehatan
Myriapoda dapat dikatakan tidak memberi keuntungan bagi kehidupan manusia. Bahkan ada beberapa yang dianggap mengganggu meski tidak membahayakan. Selain itu, Myriapoda ternyata mempunyai andil dalam memecah bahan-bahan organik atau serasah untuk membentuk humus. Untuk kelas diplopoda umumnya tidak begitu membahayakan kesehatan manusia, biasanya hanya menyebabkan dermatitis. Sedangkan pada kelas chilopoda biasanya gigitannya dapat menyebabkan rasa nyeri dan panas, namun tidak mematikan seperti sengatan pada kalajengking.


Untuk mendownload makalah myriapoda(Chilopoda dan Diplopoda) dapat di 
download http://www.ziddu.com/download/19781177/Makalah_parasitmyriapoda.docx.html


Senin, 25 Juni 2012


MAKALAH MIKOLOGI
MIKOSIS SUBKUTAN : Sporotrichosis dan Chromoblastomycosis











         Kelompok 3 :
1.      Indah Listiani                                          
2.      I ketut Arya Aryasha                   
3.      Jimmy Erres Sanjaya
4.      Kasirinus Nailiu   
5.      Luhtu Rika Putri              
6.      M. Yhajid Chandra

AKADEMI ANALIS KESEHATAN MANGGALA
YOGYAKARTA
2011/2012






MIKOSIS SUB KUTAN.


    Sporotrikosis

a.       Definisi
Sprotrichosis adalah infeksi oleh kapang yang disebabkan kapang dimorfik  Sporothrix schenkii. Umumnya kapang ini menginfeksi dermis dan subkutis. Selain itu,kapang  ini dapat menyebabkan infeksi sistemik dengan gangguan paru-paru, arthritis hingga meningitis. Dengan kata lain, kapang ini dapat menyebabkan infeksi local (subkutan) maupun sistemik. Lesi biasanyan terletak pada  ekstremitas, yang dimulai dengan bentuk nodul , nodul ini menjadi lunak dan membentuk ulkus. Kadang-kadang di dalam jaringan, sel jamur dikelilingi sebuah rumbai reftraktil eosinofil, badan asteroid, yang merupakan karakteristik organisme, walaupun gambaran yang sama dapat ditemukan pada infeksi organism lain (misalnya telur schistosoma).
Sporotrikosis memiliki sinonim sebagai rose gardener’s disease. Hal ini disebabkan oleh adanya kontaminasi dari duri mawar sebagai factor penting infeksi dari sporotrikosis

b.      Sejarah
Sporotrikosis pertama kali ditemukan oleh Benjamin Schenk pada tahun 1898. Schenck mengisolasi agen penyebab penyakit ini lalu mengirim sampel tersebut ke Erwin Smith, seorang mikologis yang kemudian menyimpulkan bahwa organism penyebab penyakit ini termasuk dalam genus Sporotrichum. Di Eropa, kasus sporotrikosis pertama kali dilaporkan pada tahun 1903 dan lebih dari 200 kasus dilaporkan dalam kurun waktu 10 tahun (Maret 1968).  Kasus sporotrikosis di Brazil pertama kali dilaporkan pada tahun 1907 oleh Lutz dan Splendore, mereka juga merupakan orang yang menemukan bahwa bentuk ragi dari jamur ini dapat dibiakkan secara in vitro.
Bentuk dimorfik dari jamur ini pertama kali ditemukan oleh Howard (1961). Bentuk dimorfik tersebut adalah bentuk miselium dan bentuk ragi. Bentuk miselium ini di dapatkan pada biakan dengan temperature 25oC sedangkan bentuk ragi ditemukan pada temperature 37oC.

c.       Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah Sporothrix schenckii yang dapat hidup di tanah, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sayuran yang telah membusuk.

d.      Hospes
Hospes dari penyakit sporotrichosis ini adalah manusia.

e.       Epidemiologi
Sporotrichosis banyak dilaporkan pada daerah beriklim sedang. Di Amerika selatan, penyakit ini lebih sering terjadi saat musim gugur atau musim panas. Sedangkan di Meksiko  insidensi terbesar terjadi saat musim dingin yang kering. Sporotrichosis dapat mengenai semua umur. Jumlah kasus pada pria dan wanita bervariasi setiap suatu daerah. Secara umum, infeksi terjadi dari inokulasi kapang yang masuk melalui duri, serpihan, goresan, dan trauma kecil, yang sering terjadi saat beraktivitas memelihara bunga, bercocok tanam, memancing, berburu, bertani, berternak, pertambangan dan penebangan kayu. Epidemic kasus terbesar yang pernah terjadi di Afrika Selatan yang mengenai sekitar 3000 penambang emas. Sporotrchosis pada manusia sporadic terjadi akibat goresa atau gigitan binatang.
Kasus  sporotrichosis melalui transmisi binatang pernah dilaporkan di Rio de Janeiro. Penelitian lainnya yang dilakukan antara 1998 dan 2004, di Evandro Chagas Research Institute, Fiocrus, menunjukkan 1503 kucing, 64 anjing dan 759 manusia yang di diagnosis sporotrichosis dari kultur isolate sporotrichosis schenckii.

f.       Morfologi
1.      Morfologi Makroskopis


Morfologi makroskopis dari Sporothrix schenckii merupakan jamur kosmopolitan, yang diisolasi dari tanah dan bahan tanaman membusuk. Ditanam pada media agar Sabouraud dekstrosa pada suhu Pada 25 ° C, warna koloni yang awalnya putih, menjadi cokelat kemerahan di permukaan. Pada 37 ° C, yang diperkaya koloni adalah krim untuk warna buff, krem ​​di tekstur. S. schenckii dibedakan dari jamur lain oleh pertumbuhan yang lambat, koloni awalnya putih berubah hitam, bulat telur dan konidia yang dihasilkan sympodially (pembentukan roset). Nonpathogenic spesies Sporothrix tidak mengkonversi ke fase ragi pada 37 ° C pada diperkaya media. S. schenckii isolat rentan terhadap amfoterisin B, itrakonazol, dan ketokonazol, tetapi kurang rentan terhadap flukonazol.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, S. schenckii memang jamur dimorfik termal dan morfologi makroskopik bervariasi tergantung pada suhu pertumbuhan. Pada 25 ° C, koloni tumbuh cukup pesat. Mereka lembab, kasar ke beludru, dan memiliki permukaan halus berkerut. Dari depan dan sebalik koloni, warna putih awalnya dan menjadi krim coklat tua. Pada 37 ° C, koloni tumbuh cukup pesat membentuk ragi.
2.Morfologi Mikroskopis



Mikroskopis Sporothrix schenckii juga bervariasi tergantung pada temperatur pertumbuhan. Pada 25 ° C, septate hialin hifa, konidiofor, dan konidia yang diamati. Konidiofor adalah pucuk dan tampak lemah dibedakan dari hifa vegetatif. Mereka sering memiliki basis meningkat dan muncul di sudut kanan dari hifa. Konidia memiliki dua jenis. Tipe pertama adalah uniseluler, hialin sampai coklat, lonjong, berdinding tipis, dan biasanya diatur dalam roset seperti berkelompok pada ujung konidiofor. Tipe kedua konidia berwarna coklat (dematiaceous), oval atau segitiga, berdinding tebal, cessile, dan melekat langsung ke sisi hifa. Jenis yang terakhir konidia biasanya hadir hanya dalam strain baru diisolasi.
Pada 37 ° C, Sporothrix schenckii menghasilkan oval untuk berbentuk cerutu (juga disebut "tubuh cerutu") sel ragi. Tunas tunggal atau ganda dapat diproduksi oleh sel ragi tunggal.


a.       Gejala klinis
Sporotrikosis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu :
1.limfokutanus
2.fixed cutaneus
3.disseminated
4.ekstrakutaneus
Bentuk limfokutan adalah bentuk yang paling umum, sekitar 75% dari seluruh kasus. Biasanya setelah masa inkubasi 1-10 minggu atau lebih, lesi berwarna unggu kemerahan, nekrotik, lesi nodular kutaneus mengikuti jalur limfatik dan biasanya membentuk ulserasi. Selain itu pada bentuk limfokutan tidak dijumpai adanya gejala sistemik. Pada bentuk fixed cutaneous sporotrichosis, lesi primer berkembang dari tempat implamasi jamur, biasanya pada tempat-tempat seperti tungkai, tangan, dan jari. Umumnya pada saat awal lesi berupa nodul yang tidak nyeri yang kemudian menjadi lunak dan pecah menjadi ulkus dengan discharge yang serous. Infeksi disseminated seperti infeksi sporotrikosis visceral, osteoartikular, sering terjadi pada pasien dengan penyakit seperti diabetes militus, keganasan hematologi, alkoholisme, penyakit paru menahun, dan infeksi HIV. Bentuk ekstrakutaneus adalah bentuk yang jarang terjadi dan bentuk ini biasanyua berasal dari inhalasi konidia atau penyebaran secara hetogen yang berasal dari inokulasi yang dalam. Penyakit osteoartikular dengan monoartritis atau tenosinovitis seringditemukan pada sporotrikosis ekstrakutaneus. Sporotrikosis pulmoner terjadi pada laki-laki dengan penyakit paru dan menyerupai tuberkulosis, dengan komplikasi fibrokavitari.Sporotrikosis meningitis jarang terjadi, tapi pernah didapatkan pada pasien HIV.
b.      Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang khas dan pemeriksaan penunjang, terutama kultur jamur.
c.       Pengobatan
Obat –obat yang diberikan untuk kasus sporotrikosis adalah postasium iodida, itrakonazol, terbinafin, flukonazol, dan amfoterisin.  Pilihan didasari pada kondisi klinis pasien, lesi kulit yang luas, interaksi obat, dan keterlibatan sistemik. Potassium iodide adalah obat yang pertama diberikan pada kasus sporotrichosis dan menunjukkan penyembuhan. Obat ini di formulasikan sebagai larutan jenuh mengandung kira-kira 142 gram potassium iodide dalam 100 ml/air. Pengobatan diberikan sebanyak 5 tetes untuk 3 kali sehari.  Intrakonazol dapat diberikan secara oral pada dosis 100 ± 400 mg/hari. Indikasinya samaseperti potassium iodide, tetapi obat dapat diberikan pada pasien imunosupresi dengan gambaranklinis berupa bentuk yang meluas dan adanya keterlibatan sistemik. Akibat yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, diare, sakit kepala, nyeri perut, reaksi hipersensitifitas,dan gangguan hati. Obat lain yaitu terbinafin tidak selalu menjadi indikasi meskipun laporanmenunjukkan keberhasilannya. Terbinafin diberikan per oral dalam dosis 250-500 mg/hari.Akibat yang tidak diinginkan seperti keluhan pada gastrointestinal, sakit kepala, gangguan rasakecap, dan netropenia. Interaksi obat belum banyak dilaporkan seperti pada pemberianitrakonazol. Keberhasilan pengobatan dengan flukonazol banyak disebutkan dalam studi pustaka,tetapi obat ini bukan menjadi obat pilihan utama. Flukonazol diberikan per oral dalam dosis 200-400 mg/hari dan dapat diaplikasikan secara intravena pada kasus berat.Obat lainnya yaitu Amfoterisin B yang diindikasikan untuk kasus sedang sampai berat pada pasien imunosupresi dan pada individu yang tidak berespon terhadap obat yang dijelaskansebelumnya. Amfoterisin B termasuk kategori obat B untuk kehamilan dan nefrotoksik sertakardiotoksik. Obat diberikan secara intravena dengan dosis harian maksimum 50 mg dan dosiskumulatif total 500 sampai 1000 mg. Durasi pemberian obat sampai terjadi penyembuhan adalahrata-rata 6 sampai 8 minggu pada pasien imunokompeten.

B. Chromoblastomycosis
a.       Definisi
Chromoblastomycosis adalah suatu infeksi fungi pada kulit dan jaringan subkutan yang ditandai dengan nodule verrucous atau plaque, disebabkan oleh inokulasi traumatis elemen fungi ke dalam kulit dan bersifat lokal, kronis, dan progresif lambat. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa jenis fungi yaitu Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii


b.      Sejarah
Pertama kali kasus chromoblastomycosis dilaporkan di Inggris. Lane dan Medlar menemukan lesi verrucous pada kaki penderita dan ahli mikologi Thaxter menyebutnya dengan Phialophora verrucosa sebagai penyebab dari lesi ini. Di tahun 1920, Pedroso dan Gomes mengumumkan satu kasus di Brazil yang telah diamatinya kurang dari 10 tahun dan mereka setuju dengan fungi yang disebut Taxter’s sebab manifestasi klinis dan histopatologinya mirip dengan yang dikemukakan Lane dan Medlar
c.       Penyebab
Penyakit Chromoblastomycosis disebabkan beberapa spesies fungi hitam seperti Phialophora verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii merupakan fungi-fungi yang paling sering diisolasi. Organisme ini disebut fungi "dematiaceous", karena mereka berwarna hitam pada dinding sel miseliumnya (pada kultur dan pada jaringan). Di dalam jaringan, fungi ini membentuk badan sklerotik yang merupakan bentuk reproduksi yang membelah  dengan memecah. Organisme ini merangsang reaksi granulomatosa. Pada makalah ini yang akan digambarkan secara makroskopis dan mikroskopis yaitu spesies Phialophora verrucosa
d.      Hospes
Fungi-fungi penyebab penyakit ini, yang dikenal dengan berbagai macam nama, merupakan "saproba" (organisme yang mengambil makan dari pembusukan) yang terletak di tanah dan tumbuhan yang membusuk. Hospes dari penyakit ini adalah manusia.
e.       Epidemiologi/Distribusi
Chromoblastomycosis terutama terdapat di daerah tropis. Di alam, fungi ini bersifat saprofit, mungkin terdapat pada tumbuhan dan di dalam tanah. Penyakit terutama terjadi pada tungkai petani dengan kaki telanjang, diduga akibat masuknya fungi melalui trauma. Penyakit ini tidak dapat ditularkan. Pemakaian sepatu dan pelindung tungkai dapat mencegah infeksi ini



f.       Morfologi
a.       Gambaran Makroskopis
Ket. Gambar : Bentuk Makroskopis Phialophora verrucosa.
Koloni mengalami pertumbuhan yang lambat , awalnya berbentuk kubah, kemudian menjadi datar, seperti kulit dan berwarna kuning langsat, hijau sampai hitam

GAMBARAN MIKROSKOPIS


Ket. Gambar : Bentuk mikroskopis Phialophora verrucosa
Bentuk konidia dan dari fungi Phialophora verrucosa dari kultur slide. Perhatikan phialides dengan bentuk "flask", yang masing-masingnya dibatasi oleh sebuah collarette. Setiap phialide berakhir dalam kumpulan bundaran, ke konidia ovoid.  Fialid berbentuk seperti labu atau elips dengan ciri khas berbentuk corong.
     Gejala Klinis
Fungi masuk melalui trauma ke dalam kulit, seringkali pada tungkai atau kaki. Secara lambat, setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun, pertumbuhan mirip kutil tersebar di sepanjang aliran getah bening yang berasal dari daerah yang terserang. Nodul seperti kembang kol disertai abses-abses berkrusta akhirnya menutupi daerah tersebut. Ulkus kecil atau “titik hitam” bahan hemopurulen terdapat pada permukaan kutil.Dalam eksudat dan jaringan, fungi-fungi ini menghasilkan sel-sel coklat tua, berdinding tebal, bulat dengan garis tengah 5-15 μm, yang membelah dengan membentuk septa.
Pembentukan septa pada berbagai bidang disertai pemisahan yang berjalan lambat dapat menghasilkan suatu kelompok yang terdiri dari empat sampai delapan sel, maka disebut “ badan sklerotik”. Di dalam krusta superfisial nanah sel-sel ini berkecambah menjadi hifa bercabang yang berwarna coklat. Pigmentasi koloninya bermacam-macam, dari abu-abu pudar sampai coklat dan hitam. Permukaannya seringkali menyerupai beludru melapisi suatu jalinan miselium yang hitam padat. Konidia terutama dihasilkan oleh fialida yang berbentuk pot bunga.
Walaupun jarang, elephantiasis mungkin timbul akibat infeksi sekunder, obstruksi dan fibrosis saluran getah bening. Penyebaran ke bagian tubuh yang lain sangat jarang terjadi, walaupun lesi satelit dapat terjadi akibat penyebaran limfatik setempat atau akibat autoinokulasi. Secara histologi, lesi berupa granuloma, dalam leukosit atau sel-sel raksasa dapat ditemukan sel-sel fungi bulat yang berwarna coklat tua
b.      Diagnosa Laboratorium
Pemeriksaan langsung dengan bahan yang terdiri dari kerokan kulit atau biopsi dari lesi. Pemeriksaan menggunakan KOH 10% dan tinta parker atau calcofluor white. Terlihat gambaran sel fungi yang bulat dengan pigmentasi coklat, berdinding-dinding dan dikelilingi badan sklerotik. Ditemukannya badan sklerotik merupakan hal yang diagnostik. Pemeriksaan irisan jaringan menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, GMS (Grocoot’s Methenamine Silver) atau PAS digest dapat dijumpai gambaran khas sel sklerotik berwarna coklat gelap tanpa tunas. Perkembangbiakan sel ini dengan pembelahan biner. Tapi harus diingat bahwa pemeriksaan langsung dan pemeriksaan histopatologi tidak dapat mengetahui jenis fungi penyebab chromoblastomycosis, karena semua jenis fungi yang disebut diatas dapat memperlihatkan gambaran sklerotik bodies

Ket. Gambar: Hasil pewarnaan Hematoksilin & Eosin menunjukkan karakteristik ada badan sklerotik coklat tua yang diperoleh dengan pembelahan biner bukan pertunasan. Catatan : semua agen chromoblastomycosis membentuk badan sklerotik dalam jaringan.
Bahan dibiakkan pada agar Sabouraud supaya dapat ditemukan struktur dan susunan konidia yang khas seperti dijelaskan diatas. Pemeriksaan kultur dan morfologi fungi sangat penting untuk melihat morfologi konidia, susunan konidia pada sel fungi dan morfologi sel conidiogenous. Pemeriksaan dengan slide kultur sangat dianjurkan. Koloni dari kultur Chromoblastomycosis, terlihat koloni berwarna seperti zaitun kehitaman dengan permukaan yang halus
a.       Pengobatan
Pengobatan penyakit ini sangat sulit. Eksisi pembedahan yang luas sampai ke pinggiran kulit yang tidak terinfeksi merupakan terapi pilihan untuk mencegah penyebaran secara lokal. Eksisi dilakukan untuk lesi yang kecil. Kemoterapi dengan flusitosin atau itrakonazole dapat bermanfaat untuk lesi yang lebih besar. Flusitosin dengan atau tanpa thiabendazole dapat diberikan untuk mengobati mikosis ini. Kombinasi itrakonazole 400mg/hari dan terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan dapat menyembuhkan chromoblastomycosis. Sering terjadi kekambuhan



















DAFTAR PUSTAKA
·         Amelia, Sri. 2011. Mikosis Subkutan. Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran  (USU) Universitas Sumatera Utara. Available at  :  http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/30414 diakses pada 15 Juni 2012
·         Pohan, Arthur. 2010. Bahan Kuliah Mikologi. Fakultas Kedokteran Unair (Universitas Airlangga.Available at :  Http://www.fk.unair.ac.id/pdfiles/mikologi-1.pdf diakses pada 15 juni 2012
·         Castro, Schwartz. 2006. Chromoblastomycosis. American Academy of Dermatology.Available at:  http://www.emedicine.com/cgi-bin/foxweb.exe/ diakses pada 15 juni 2012 
·         Ellis, David. 2006 Chromoblastomycosis. Mycology Online. The University of Adelaide. Available:http://www.mycology.adelaide.edu.au/mycosis/subcutaneous/chromoblastomycosis  diakses pada 15 juni 2012






  TERIMA KASIH SALAM HANGAT DARI KARIM SOUTH AESESA