MAKALAH MIKOLOGI
MIKOSIS SUBKUTAN : Sporotrichosis dan Chromoblastomycosis
Kelompok 3 :
1. Indah
Listiani
2. I
ketut Arya Aryasha
3. Jimmy
Erres Sanjaya
4. Kasirinus
Nailiu
5. Luhtu
Rika Putri
6. M.
Yhajid Chandra
AKADEMI
ANALIS KESEHATAN MANGGALA
YOGYAKARTA
2011/2012
MIKOSIS SUB KUTAN.
Sporotrikosis
a. Definisi
Sprotrichosis adalah infeksi oleh kapang yang disebabkan
kapang dimorfik Sporothrix schenkii.
Umumnya kapang ini menginfeksi dermis dan subkutis. Selain itu,kapang ini dapat menyebabkan infeksi sistemik dengan
gangguan paru-paru, arthritis hingga meningitis. Dengan kata lain, kapang ini
dapat menyebabkan infeksi local (subkutan) maupun sistemik. Lesi biasanyan
terletak pada ekstremitas, yang dimulai
dengan bentuk nodul , nodul ini menjadi lunak dan membentuk ulkus.
Kadang-kadang di dalam jaringan, sel jamur dikelilingi sebuah rumbai reftraktil
eosinofil, badan asteroid, yang merupakan karakteristik organisme, walaupun
gambaran yang sama dapat ditemukan pada infeksi organism lain (misalnya telur
schistosoma).
Sporotrikosis
memiliki sinonim sebagai rose gardener’s disease. Hal ini disebabkan oleh
adanya kontaminasi dari duri mawar sebagai factor penting infeksi dari
sporotrikosis
b. Sejarah
Sporotrikosis pertama kali ditemukan oleh Benjamin Schenk
pada tahun 1898. Schenck mengisolasi agen penyebab penyakit ini lalu mengirim
sampel tersebut ke Erwin Smith, seorang mikologis yang kemudian menyimpulkan
bahwa organism penyebab penyakit ini termasuk dalam genus Sporotrichum. Di
Eropa, kasus sporotrikosis pertama kali dilaporkan pada tahun 1903 dan lebih
dari 200 kasus dilaporkan dalam kurun waktu 10 tahun (Maret 1968). Kasus sporotrikosis di Brazil pertama kali
dilaporkan pada tahun 1907 oleh Lutz dan Splendore, mereka juga merupakan orang
yang menemukan bahwa bentuk ragi dari jamur ini dapat dibiakkan secara in
vitro.
Bentuk dimorfik dari jamur ini pertama kali ditemukan oleh
Howard (1961). Bentuk dimorfik tersebut adalah bentuk miselium dan bentuk ragi.
Bentuk miselium ini di dapatkan pada biakan dengan temperature 25oC
sedangkan bentuk ragi ditemukan pada temperature 37oC.
c. Penyebab
Penyebab penyakit ini adalah Sporothrix schenckii yang dapat hidup di tanah, hewan,
tumbuh-tumbuhan dan sayuran yang telah membusuk.
d. Hospes
Hospes dari penyakit sporotrichosis ini adalah manusia.
e. Epidemiologi
Sporotrichosis banyak dilaporkan pada daerah beriklim
sedang. Di Amerika selatan, penyakit ini lebih sering terjadi saat musim gugur
atau musim panas. Sedangkan di Meksiko
insidensi terbesar terjadi saat musim dingin yang kering. Sporotrichosis
dapat mengenai semua umur. Jumlah kasus pada pria dan wanita bervariasi setiap
suatu daerah. Secara umum, infeksi terjadi dari inokulasi kapang yang masuk
melalui duri, serpihan, goresan, dan trauma kecil, yang sering terjadi saat
beraktivitas memelihara bunga, bercocok tanam, memancing, berburu, bertani,
berternak, pertambangan dan penebangan kayu. Epidemic kasus terbesar yang
pernah terjadi di Afrika Selatan yang mengenai sekitar 3000 penambang emas.
Sporotrchosis pada manusia sporadic terjadi akibat goresa atau gigitan
binatang.
Kasus sporotrichosis
melalui transmisi binatang pernah dilaporkan di Rio de Janeiro. Penelitian
lainnya yang dilakukan antara 1998 dan 2004, di Evandro Chagas Research Institute,
Fiocrus, menunjukkan 1503 kucing, 64 anjing dan 759 manusia yang di diagnosis
sporotrichosis dari kultur isolate sporotrichosis schenckii.
f. Morfologi
1. Morfologi
Makroskopis
Morfologi makroskopis dari Sporothrix schenckii merupakan jamur
kosmopolitan, yang diisolasi dari tanah dan bahan tanaman membusuk. Ditanam
pada media agar Sabouraud dekstrosa pada suhu Pada 25 ° C, warna koloni yang
awalnya putih, menjadi cokelat kemerahan di permukaan. Pada 37 ° C, yang
diperkaya koloni adalah krim untuk warna buff, krem di tekstur. S. schenckii
dibedakan dari jamur lain oleh pertumbuhan yang lambat, koloni awalnya putih
berubah hitam, bulat telur dan konidia yang dihasilkan sympodially (pembentukan
roset). Nonpathogenic spesies Sporothrix tidak mengkonversi ke fase ragi pada
37 ° C pada diperkaya media. S. schenckii isolat rentan terhadap amfoterisin B,
itrakonazol, dan ketokonazol, tetapi kurang rentan terhadap flukonazol.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya,
S. schenckii memang jamur dimorfik
termal dan morfologi makroskopik bervariasi tergantung pada suhu pertumbuhan.
Pada 25 ° C, koloni tumbuh cukup pesat. Mereka lembab, kasar ke beludru, dan
memiliki permukaan halus berkerut. Dari depan dan sebalik koloni, warna putih
awalnya dan menjadi krim coklat tua. Pada 37 ° C, koloni tumbuh cukup pesat
membentuk ragi.
2.Morfologi Mikroskopis
Mikroskopis Sporothrix schenckii juga bervariasi
tergantung pada temperatur pertumbuhan. Pada 25 ° C, septate hialin hifa,
konidiofor, dan konidia yang diamati. Konidiofor adalah pucuk dan tampak lemah
dibedakan dari hifa vegetatif. Mereka sering memiliki basis meningkat dan
muncul di sudut kanan dari hifa. Konidia memiliki dua jenis. Tipe pertama
adalah uniseluler, hialin sampai coklat, lonjong, berdinding tipis, dan
biasanya diatur dalam roset seperti berkelompok pada ujung konidiofor. Tipe
kedua konidia berwarna coklat (dematiaceous), oval atau segitiga, berdinding
tebal, cessile, dan melekat langsung ke sisi hifa. Jenis yang terakhir konidia
biasanya hadir hanya dalam strain baru diisolasi.
Pada 37 ° C, Sporothrix schenckii menghasilkan oval
untuk berbentuk cerutu (juga disebut "tubuh cerutu") sel ragi. Tunas
tunggal atau ganda dapat diproduksi oleh sel ragi tunggal.
a. Gejala
klinis
Sporotrikosis
dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu :
1.limfokutanus
2.fixed cutaneus
3.disseminated
4.ekstrakutaneus
Bentuk limfokutan adalah bentuk yang paling umum,
sekitar 75% dari seluruh kasus. Biasanya setelah masa inkubasi 1-10 minggu atau
lebih, lesi berwarna unggu kemerahan, nekrotik, lesi nodular kutaneus mengikuti
jalur limfatik dan biasanya membentuk ulserasi. Selain itu pada bentuk
limfokutan tidak dijumpai adanya gejala sistemik. Pada bentuk
fixed cutaneous sporotrichosis, lesi primer berkembang dari tempat implamasi
jamur, biasanya pada tempat-tempat seperti tungkai, tangan, dan jari. Umumnya
pada saat awal lesi berupa nodul yang tidak nyeri yang kemudian menjadi lunak
dan pecah menjadi ulkus dengan discharge yang serous.
Infeksi
disseminated seperti infeksi sporotrikosis visceral, osteoartikular, sering
terjadi pada pasien dengan penyakit seperti diabetes militus, keganasan
hematologi, alkoholisme, penyakit paru menahun, dan infeksi HIV. Bentuk
ekstrakutaneus adalah bentuk yang jarang terjadi dan bentuk ini biasanyua berasal dari inhalasi konidia atau
penyebaran secara hetogen yang berasal dari inokulasi yang dalam. Penyakit osteoartikular dengan
monoartritis atau tenosinovitis seringditemukan pada sporotrikosis
ekstrakutaneus. Sporotrikosis pulmoner terjadi pada laki-laki dengan penyakit paru dan menyerupai tuberkulosis,
dengan komplikasi fibrokavitari.Sporotrikosis meningitis jarang terjadi, tapi
pernah didapatkan pada pasien HIV.
b. Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang khas dan
pemeriksaan penunjang, terutama kultur jamur.
c. Pengobatan
Obat –obat yang diberikan untuk kasus sporotrikosis adalah
postasium iodida, itrakonazol, terbinafin, flukonazol, dan amfoterisin. Pilihan didasari pada kondisi klinis pasien,
lesi kulit yang luas, interaksi obat, dan keterlibatan sistemik. Potassium
iodide adalah obat yang pertama diberikan pada kasus sporotrichosis dan
menunjukkan penyembuhan. Obat ini di formulasikan sebagai larutan jenuh
mengandung kira-kira 142 gram potassium iodide dalam 100 ml/air. Pengobatan
diberikan sebanyak 5 tetes untuk 3 kali sehari.
Intrakonazol dapat
diberikan secara oral pada dosis 100 ± 400 mg/hari. Indikasinya samaseperti
potassium iodide, tetapi obat dapat diberikan pada pasien imunosupresi dengan
gambaranklinis berupa bentuk yang meluas dan adanya keterlibatan sistemik.
Akibat yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, diare, sakit kepala, nyeri
perut, reaksi hipersensitifitas,dan gangguan hati. Obat lain yaitu terbinafin
tidak selalu menjadi indikasi meskipun laporanmenunjukkan keberhasilannya.
Terbinafin diberikan per oral dalam dosis 250-500 mg/hari.Akibat yang tidak
diinginkan seperti keluhan pada gastrointestinal, sakit kepala, gangguan
rasakecap, dan netropenia. Interaksi obat belum banyak dilaporkan seperti pada
pemberianitrakonazol. Keberhasilan pengobatan dengan flukonazol banyak
disebutkan dalam studi pustaka,tetapi obat ini bukan menjadi obat pilihan
utama. Flukonazol diberikan per oral dalam dosis 200-400 mg/hari dan dapat diaplikasikan secara intravena pada kasus berat.Obat lainnya yaitu Amfoterisin B yang diindikasikan
untuk kasus sedang sampai berat pada pasien imunosupresi dan pada individu
yang tidak berespon terhadap obat yang dijelaskansebelumnya. Amfoterisin B
termasuk kategori obat B untuk kehamilan dan nefrotoksik sertakardiotoksik.
Obat diberikan secara intravena dengan dosis harian maksimum 50 mg dan
dosiskumulatif total 500 sampai 1000 mg. Durasi pemberian obat sampai terjadi
penyembuhan adalahrata-rata 6 sampai
8 minggu pada pasien imunokompeten.
B. Chromoblastomycosis
a. Definisi
Chromoblastomycosis adalah suatu infeksi fungi pada kulit
dan jaringan subkutan yang ditandai dengan nodule verrucous atau plaque, disebabkan
oleh inokulasi traumatis elemen fungi ke dalam kulit dan bersifat lokal, kronis,
dan progresif lambat. Penyakit ini disebabkan oleh beberapa jenis fungi yaitu Phialophora
verrucosa, Fonsecaea pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan
Cladosporium carrionii
b. Sejarah
Pertama kali kasus chromoblastomycosis dilaporkan di
Inggris. Lane dan Medlar menemukan lesi verrucous
pada kaki penderita dan ahli mikologi Thaxter menyebutnya dengan Phialophora
verrucosa sebagai penyebab dari lesi ini. Di tahun 1920, Pedroso dan
Gomes mengumumkan satu kasus di Brazil yang telah diamatinya
kurang dari 10 tahun dan mereka setuju dengan fungi yang disebut Taxter’s sebab
manifestasi klinis dan histopatologinya mirip dengan yang dikemukakan Lane dan
Medlar
c. Penyebab
Penyakit Chromoblastomycosis disebabkan beberapa
spesies fungi hitam seperti Phialophora verrucosa, Fonsecaea
pedrosoi, Rhinocladiella aquaspersa dan Cladosporium carrionii merupakan fungi-fungi
yang paling sering diisolasi. Organisme ini disebut fungi
"dematiaceous", karena mereka berwarna hitam pada dinding sel
miseliumnya (pada kultur dan pada jaringan). Di dalam jaringan, fungi ini
membentuk badan sklerotik yang merupakan bentuk reproduksi yang membelah dengan memecah. Organisme ini merangsang
reaksi granulomatosa. Pada makalah ini yang akan digambarkan secara makroskopis
dan mikroskopis yaitu spesies Phialophora
verrucosa
d. Hospes
Fungi-fungi penyebab penyakit ini, yang dikenal
dengan berbagai macam nama, merupakan "saproba" (organisme yang
mengambil makan dari pembusukan) yang terletak di tanah dan tumbuhan yang
membusuk. Hospes dari penyakit ini adalah manusia.
e. Epidemiologi/Distribusi
Chromoblastomycosis
terutama terdapat di daerah tropis. Di alam, fungi ini bersifat saprofit,
mungkin terdapat pada tumbuhan dan di dalam tanah. Penyakit terutama terjadi
pada tungkai petani dengan kaki telanjang, diduga akibat masuknya fungi melalui
trauma. Penyakit ini tidak dapat ditularkan. Pemakaian sepatu dan pelindung
tungkai dapat mencegah infeksi ini
f. Morfologi
a.
Gambaran Makroskopis
Ket. Gambar : Bentuk Makroskopis Phialophora verrucosa.
Koloni
mengalami pertumbuhan yang lambat , awalnya berbentuk kubah, kemudian menjadi
datar, seperti kulit dan berwarna kuning langsat, hijau sampai hitam
GAMBARAN MIKROSKOPIS
Ket.
Gambar : Bentuk mikroskopis Phialophora verrucosa
Bentuk
konidia dan dari fungi Phialophora verrucosa dari kultur slide.
Perhatikan phialides dengan bentuk "flask", yang masing-masingnya
dibatasi oleh sebuah collarette. Setiap phialide berakhir dalam kumpulan
bundaran, ke konidia ovoid. Fialid berbentuk seperti labu atau elips
dengan ciri khas berbentuk corong.
Fungi masuk melalui trauma ke dalam
kulit, seringkali pada tungkai atau kaki. Secara lambat, setelah berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, pertumbuhan mirip kutil tersebar di sepanjang aliran getah
bening yang berasal dari daerah yang terserang. Nodul seperti kembang kol
disertai abses-abses berkrusta akhirnya menutupi daerah tersebut. Ulkus kecil
atau “titik hitam” bahan hemopurulen terdapat pada permukaan kutil.Dalam
eksudat dan jaringan, fungi-fungi ini menghasilkan sel-sel coklat tua,
berdinding tebal, bulat dengan garis tengah 5-15 μm, yang membelah dengan
membentuk septa.
Pembentukan septa pada berbagai bidang
disertai pemisahan yang berjalan lambat dapat menghasilkan suatu kelompok yang
terdiri dari empat sampai delapan sel, maka disebut “ badan sklerotik”.
Di dalam krusta superfisial nanah sel-sel ini berkecambah menjadi hifa
bercabang yang berwarna coklat. Pigmentasi koloninya bermacam-macam, dari
abu-abu pudar sampai coklat dan hitam. Permukaannya seringkali menyerupai
beludru melapisi suatu jalinan miselium yang hitam padat. Konidia terutama
dihasilkan oleh fialida yang berbentuk pot bunga.
Walaupun
jarang, elephantiasis mungkin timbul akibat infeksi sekunder, obstruksi dan
fibrosis saluran getah bening. Penyebaran ke bagian tubuh yang lain sangat
jarang terjadi, walaupun lesi satelit dapat terjadi akibat penyebaran limfatik
setempat atau akibat autoinokulasi. Secara histologi, lesi berupa granuloma, dalam
leukosit atau sel-sel raksasa dapat ditemukan sel-sel fungi bulat yang berwarna
coklat tua
b. Diagnosa
Laboratorium
Pemeriksaan langsung dengan bahan yang terdiri dari
kerokan kulit atau biopsi dari lesi. Pemeriksaan menggunakan KOH 10% dan tinta
parker atau calcofluor white. Terlihat gambaran sel fungi yang bulat
dengan pigmentasi coklat, berdinding-dinding dan dikelilingi badan sklerotik. Ditemukannya
badan sklerotik merupakan hal yang diagnostik. Pemeriksaan irisan jaringan
menggunakan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, GMS (Grocoot’s Methenamine Silver)
atau PAS digest dapat dijumpai gambaran khas sel sklerotik berwarna coklat
gelap tanpa tunas. Perkembangbiakan sel ini dengan pembelahan biner. Tapi harus
diingat bahwa pemeriksaan langsung dan pemeriksaan histopatologi tidak dapat
mengetahui jenis fungi penyebab chromoblastomycosis, karena semua jenis fungi
yang disebut diatas dapat memperlihatkan gambaran sklerotik bodies
Ket.
Gambar: Hasil pewarnaan Hematoksilin & Eosin menunjukkan karakteristik ada
badan sklerotik coklat tua yang diperoleh dengan pembelahan biner bukan pertunasan.
Catatan : semua agen chromoblastomycosis membentuk badan sklerotik dalam
jaringan.
Bahan dibiakkan pada agar Sabouraud
supaya dapat ditemukan struktur dan susunan konidia yang khas seperti
dijelaskan diatas. Pemeriksaan kultur dan morfologi fungi sangat penting untuk
melihat morfologi konidia, susunan konidia pada sel fungi dan morfologi sel
conidiogenous. Pemeriksaan dengan slide kultur sangat dianjurkan. Koloni dari
kultur Chromoblastomycosis, terlihat koloni berwarna seperti zaitun
kehitaman dengan permukaan yang halus
Pengobatan penyakit ini sangat sulit. Eksisi
pembedahan yang luas sampai ke pinggiran kulit yang tidak terinfeksi merupakan
terapi pilihan untuk mencegah penyebaran secara lokal. Eksisi dilakukan untuk
lesi yang kecil. Kemoterapi dengan flusitosin atau itrakonazole dapat
bermanfaat untuk lesi yang lebih besar. Flusitosin dengan atau tanpa
thiabendazole dapat diberikan untuk mengobati mikosis ini. Kombinasi
itrakonazole 400mg/hari dan terbinafine 500 mg/hari selama 6-12 bulan dapat
menyembuhkan chromoblastomycosis. Sering terjadi kekambuhan
DAFTAR
PUSTAKA
TERIMA KASIH SALAM HANGAT DARI KARIM SOUTH AESESA